BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ludwig Wittgenstein lahir di Wina (Austria) pada tanggal 26
April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya berasal dari
keluarga Yahudi dan telah memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama
Katolik. Kehidupan keluarganya di kota Wina baik dalam dalam bidang intelektual
ataupun bidang musik. Tahun 1906 ia belajar teknik di kota Berlin dan kemudian
melanjutkan di Kota Manchester pada tahun 1908. Tahun 1911 ia berkonsultasi
dengan G. Frege (ahli matematika dari Jerman) karena ketertarikannya kepada
ilmu matematika. Rupa-rupanya, G. Frege memberinya advis untuk belajar
pada Bertrand Russel di Cambridge.
Sejak di Cambridge dan pertemuannya dengan B. Russel,
Wittgenstein memulai karya-karyanya. Karyanya yang pertama terbit dalam majalah
Annalen der Naturphilosophie pada tahun 1921 dengan judul
“Logischphilosophische Abhandlungen” (Ulasan-ulasan logis dan filosofis).
Setahun kemudian diterbitkan suatu edisi baru dengan terjemahan Inggris di
samping teks Jerman yang asli. Edisi yang berjudul Tractatus
logico-philosophicus ini disertai dengan kata pengantar dari Russel.
Beberapa catatan yang dibuat Wittgenstein waktu ia mempersiapkan bukunya
tersebut masih disimpan dan kemudian diterbitkan sebagai Notebooks
1914-1916 (edisi ke-2 yang diperbaiki 1979). Catatan-catatan ini dimaksudkan
untuk mengerti lebih baik teks Tractatus yang sangat padat perumusannya.
Sesudah Tractatus, Wittgenstein tidak menerbitkan
apa-apa lagi kecuali suatu artikel pendek tentang logika (1929). Baru setelah
lama berselang, pada tahun 1953 terbit karya Wittgenstein yaitu Philosophische
Untersuchungen atau Philosophical Investigations (teks Jerman
bersama dengan terjemahan Inggrisnya). Kemudian diterbitkan lagi beberapa teks
berupa catatan pribadi atau persiapan untuk kuliah. Philosophische
Bemerkungen (dari 1930) (1965); Philosophische Grammatik (dari 1932)
(1969); The Blue dan Brown Books (dari 1933-1935) (1969), Remarks ion
the Fundation of Mathematics (dari 1937-44) (1967); Lectures and
Conversations on Aesthetics, Psychology and Religious Belief (dari
1938) (1966), Zettel (dari 1945-1948) (1967); On Certainty (dari
1950-1951) (1969). Bemerkungen uber die Farben / Remarks on Colour (dari
1950-1951) (1977); Wittgenstein’s Lectures: Cambridge 1930-32 (1980); Wittgenstein’s
Lectures: Cambridge 1932-35 (1979).
Selama hidupnya, ia banyak mengalami depresi psikis dan
beberapa kali mempertimbangkan untuk bunuh diri. Sebenarnya, ia hidup di ambang
penyakit jiwa dan oleh karena itu, ia sangat ketakutan. Ia mengakui bahwa bagi
dia, berfilsafat adalah jalan paling baik untuk mengatasi keadaan depresinya.
1.2 Tujuan dan Manfaat
1.2.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, ialah untuk
mengkaji mengenai
penerapan bahasa
dalam kehidupan.
Makalah ini juga disusun sebagai
salah satu syarat ketuntasan pada mata kuliah Bahasa Indonesia.
1.2.2 Manfaat
Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan makalah ini, yaitu :
1.
Dapat menambah wawasan, khususnya mengenai
sejauh mana pengaruh bahasa
dalam
kehidupan.
2.
Makalah
ini juga dapat dijadikan salah satu bahan acuan (referensi) pada mata kuliah
Bahasa Indonesia (khususnya pembahasan mengenai pandangan Ludwig
Wittgenstein mengenai bahasa).
1.3 Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini ialah
tentang pandangan Ludwig Wittgenstein mengenai
Bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Wittgenstein I: Tractatus logico-philosophicus
2.1.1 Realitas dunia
Salah satu uraiannya yang merupakan unsur yang sangat
fundamental bahkan merupakan suatu dasar ontologis Tractus adalah konsepnya
tentang realitas dunia yang dilukiskan melalui bahasa. Pemikiran ini melukiskan
tentang hakikat dunia, dan karena hakikat dunia dilukiskan melalui bahasa, maka
teori ini juga mendeskripsikan tentang hakikat bahasa. Dunia adalah suatu
realitas sebagaimana kita lihat dan kita alami. Dunia itu adalah keseluruhan
dari fakta-fakta. Fakta di sini berarti suatu keberadaan peristiwa, bagaimana
objek-objek terhubung satu sama lain yang terjadi dalam ruang dan waktu
tertentu. Dalam hubungan dengan dunia, fakta yang kompleks tersusun atas satuan
terkecil yaitu fakta atomik. Totalitas dari fakta atomik itu adalah suatu
dunia. Realitas dunia fakta tersebut diwakili melalui bahasa.
2.1.2 Logika bahasa
Menurut Wittgenstein, masalah-masalah filsafat sebenarnya
terletak pada kesalah-pahaman penggunaan bahasa, dan lebih tepatnya penggunaan
logika bahasa. Penggunaan bahasa dalam analisis teori-teori filsafat harus
mampu mengungkapkan secara objektif fakta tentang dunia, dan hal ini harus
dilakukan dengan menggunakan bahasa berdasarkan asas-asas logika. Dalam bukunya
yang pertama, Wittgenstein sebenarnya hanya berbicara mengenai bahasa,
atau lebih tepatnya lagi jika dikatakan buku tersebut berbicara tentang logika
bahasa. Wittgenstein berpendapat bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna
itu tidak lain daripada menggambarkan suatu keadaan faktual dalam realitas
melalui bahasa. Baginya, apa yang memang dikatakan dapat dikatakan secara
jelas. Dan tentang apa yang tidak dapat dikatakan, orang harus berdiam diri.
2.1.3 Teori gambar
Pada zaman Wittgenstein, penggunaan logika bahasa dalam
menjelaskan suatu konsep filsafat menimbulkan kekaburan makna, bahkan banyak
ungkapan menjadi tidak bermakna apa-apa. Karenanya, Wittgenstein berfikir bahwa
hanya ada satu kemungkinan cara untuk mengatasi kebingungan bahasa tersebut
yaitu melalui proposisi dan proposisi harus merupakan suatu gambar dan
perwakilan dari suatu realitas fakta. Dalam menjelaskan prinsip teori gambar,
Wittgenstein menjelaskan bahwa proposisi adalah gambaran realitas. Sebuah
gambar hanya memiliki ciri sebagaimana yang dimiliki oleh proposisi. Ia
mewakili beberapa situasi yang dilukiskan melebihi dirinya sendiri dan tidak
seorang pun perlu menjeskan tentang apa yang digambarkan.
Suatu proposisi adalah gambar bukan dalam arti kiasan
melainkan secara harafiah. Wittgenstein berkeyakinan bahwa semua ucapan kita
mengandung satu atau leboh proposisi elementer, artinya proposisi yang tidak
dapat dianalisis lagi. Suatu proposisi elementer menunjuk pada suatu state
of affairs dalam realitas. Suatu proposisi elementer terdiri dari
nama-nama. Tetapi nama-nama tersendiri tidak mempunyai makna. Hanya proposisi
yang mempunyai makna. Kalau Wittgenstein mengatakan bahwa dalam suatu proposisi
elementer digambarkan suatu duduk perkara (state of affairs) dalam
realitas, maksudnya adalah bahwa unsur-unsur dalam proposisi dan unsur-unsur
realitas sepadan satu sama lain. Dengan kata lain, strukutur proposisi
sesuai dengan struktur yang terdapat dalam realitas. Misal: peta kota dengan
kota itu sendiri. Pada taraf yang berbeda-beda pola-pola hubungan antara
unsur-unsur tersebut secara formal sama biarpun secara material sama sekali
berlainan. Hanya dengan teori gambarlah, menurut Wittgenstein, realitas dunia
dapat dikatakan. Hanya dengan teori ini pula dapat diterangkan bahwa bahasa
kita bermakna. Proposisi-proposisi dalam tautologi bukanlah proposisi sejati
karena tidak mengungkapkan suatu pikiran, tidak mengatakan sesuatu, sebab tidak
merupakan suatu picture (gambar) dari sesuatu. Tetapi proposisi ini bukan tidak
bermakna.
2.2
Pandangan Wittgenstein tentang metafisika
Salah satu konsekwensi yang harus
ditarik dari ‘teori gambar’ adalah bahwa
proposisi-proposisi metafisika tidak bermakna. Menurut dia, filsafat bukan
merupakan suatu ajaran, melainkan suatu aktivitas. Tugas filsafat adalah
menjelaskan kepada orang apa yang dapat dikatakan dan apa yang tidak dapat
dikatakan. Metafisika melampaui batas-batas bahasa karena metafisika mau
mengatakan apa yang tidak dapat dikatakan. Misalnya, subjek, kematian, Allah,
dan bahasa itu sendiri. Tetapi Wittgenstein tidak berpendapat bahwa memang ada
hal-hal yang tidak dapat dikatakan.
·
Karena bahasa merupakan gambar dunia maka bahasa tidak
dapat menggambarkan dirinya
sendiri. Oleh karena itu, bahasa tidak termasuk
dari dunia.
·
Tidak mungkin juga berbicara tentang
kematiannya sendiri, karena kematian tidak merupakan suatu kejadian yang dapat
digolongkan antara kejadian-kejadian lain. Kematian seakan-akan memagari dunia,
tetapi kita tidak termasuk di dalamnya. Kematian merupakan batas dunia dan
karenanya tidak dapat dibicarakan sebagai suatu unsur dunia.
·
Allah tidak dapat dipandang sebagai
sesuatu dalam dunia. Tidak dapat dikatakan pula bahwa Allah menyatakan diri di
dalam dunia. Wittgenstein memandang kejadian-kejadian di dunia sebagai campur
tangan Allah. Sebab, kalau demikian Allah bekerja sebagai sesuatu di dalam
dunia. Akibatnya, kita tidak dapat berbicara tentang Allah dengan cara yang
bermakna.
·
Bahasa mencerminkan dunia, tetapi suatu
cermin tidak bisa memantulkan dirinya sendiri. Bahasa tidak dapat melukiskan
secara langsung apa itu bahasa. Oleh karena itu, Wittgenstein menggunakan
metafora dan analogi untuk menjelaskan apa yang sebenarnya tidak dapat
dikatakan.
2.3 Wittgenstein II: Philosophical Investigations
Setelah karyanya yang pertama yaitu Tractatus, Wittgenstein
tidak menulis karya apa pun sampai ia kembali ke Cambridge pada tahun 1929.
Pada masa-masa inilah, Wittgenstein mencoba menyusun secara bertahap karya
besarnya yang kedua yaitu Philosophical Investigations dengan dibantu oleh dua
orang muridnya yaitu G. Ascombe dan Rush Rhess. Tampaknya, Philosophical
Investigations merupakan sebuah koreksi atas karya yang pertama.
Dalam Philosophical Investigations, ia menolak terutama tiga
hal yang dulu diandaikan begitu saja dalam teori pertama yaitu:
1.
Bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja yakni menetapkan state of
affairs (keadaan-keadaan faktual).
2.
Bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja yakni
menggambarkan suatu keadaan faktual.
3.
Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna,
biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.
Dalam
karyanya yang kedua, Wittgenstein melahirkan adanya teori makna dalam
penggunaan (meaning in use) dan permainan bahasa (language games).
2.3.1 Makna dalam penggunaan (meaning
in use)
Bagi
Wittgenstein, sebuah tanda menjadi hidup atau menjadi bermakna justru dalam
penggunaannya. Makna kalimat adalah tergantung penggunaannya dalam bahasa
sedangkan makna bahasa adalah tergantung penggunaannya dalam hidup. Oleh karena
itu, Wittgenstein menyarankan agar pemahaman terhadap bahasa mesti dianalisis
berdasarkan penggunaannya dalam konteks-konteks tertentu (meaning in use).
Kata
menunjukkan sesuatu yang dapat diinderai keberadaannya misalnya kambing,
kuda, kursi. Kata-kata ini bermakna karena menamakan sesuatu tetapi
terdapat juga banyak kata yang tidak menunjukkan sesuatu seperti sudah,
boleh, maka, dan. Oleh karena itu, jangan ditanyakan apa arti sebuah kata
tetapi bagaimana sebuah kata digunakan.
2.3.2 Permainan bahasa (language
Games)
Untuk
menjelaskan lebih lanjut bahwa bahasa dipakai dengan berbagai macam cara, dalam
Philosophical Investigations Wittgenstein memperkenalkan istilah language
games (permainan-permainan bahasa). Ada banyak sekali permainan. Ada
permainan yang memakai bola atau kartu atau alat yang lain. Ada juga yang
dimainkan sendiri tetapi ada juga permainan yang dilakukan dalam regu atau
kelompok. Dan juga norma atau aturan yang dipakai untuk menentukan kemenangan
sangat berbeda satu sama lain. Tidak ada gunanya dan tidak mungkin menunjukkan
satu permainan sebagai model atau ideal bagi semua permainan lain. Sebagaimana
terdapat banyak permainan, demikian juga terdapat banyak “permainan bahasa”.
Arti kata-kata hanya bisa dipahami dalam kerangka acuan language games
yang dipakai. engan kata lain, Wittgenstein dengan teorinya mengenai language
games hendak mengatakan kepada kita bahwa kita harus melihat, membaca dan
memahami suatu bahasa dalam konteksnya masing-masing.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, Wittgenstein
berpendapat bahwa tugas filsuf adalah mengadakan klasifikasi aneka macam
penggunaan dan menggadakan verifikasi, apakah penggunaan kata dalam keadaan
tertentu itu tepat atau keliru, bermakna atau tidak. Filsafat menjadi semacam
sarana kritis untuk memeriksa pemakaian bahasa bahkan menjadi terapi bagi
pemakaian bahasa yang berlebihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar